Memproteksi dari Pendengaran dan Pandangan yang Diharamkan
ثُمَّ
سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
(QS. al-Sajdah: 9)
Dalam ayat di atas, Allah
mendahulukan pendengaran (sam’a) daripada penglihatan (abṣāra), dalam beberapa
ayat yang lain secara konsisten mendahulukan pendengaran daripada penglihatan.
Apabila sebutan al-abshār di dahulukan, biasanya hal itu menunjukkan kecaman,
seperti dalam firman-Nya QS. al-A’rāf: 179
وَلَقَدْ
ذَرَأْناَ لِجَهَنَّمَ كَثِيْراً مِنَ الْجِنِّ وَاْلاِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ
يَفْقَهُوْنَ بِهاَ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُوْنَ بِهاَ وَلَهُمْ آذَانٌ
لاَيَسْمَعُوْنَ بِهاَ اُولآئِكَ كاَلاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ اُولآئِكَ هُمُ
الْغَافِلُوْنَ
Dan pasti akan Kami campakkan
ke dalam neraka jahannam itu, kebanyakan dari golongan Jin dan manusia, mereka
punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka
punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, dan mereka
punya telinga, tetapi juga tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah,
mereka itu laksana binanatng, bahkan lebih sesat lagi, dan mereka itulah
makhluk-makhluk yang lalai (QS. al-A’raf ): 179).
Pendengaran dianugerahkan agar
dipergunakan untuk mendengar kalamullah, sunnah rasulillah dan aneka kebaikan
lainnya. Mempergunakan telinga untuk mendengar keburukan termasuk menyalahi
tujuan anugerah dan fungsi telinga itu sendiri. Al-Ghazali pernah menjelaskan,
pembicaraan yang masuk ke ruang dengar bagaikan makanan yang masuk ke dalam
rongga perut, ada yang memberi manfaat, adapula yang berdampak penyakit.
Apabila makanan yang bergizi masuk ke dalam perut, maka akan berdampak positif
terhadap kesehatan, sebaliknya, makanan kotor yang masuk ke dalam perut
berdampak penyakit. Demikian pula dengan pendengaran, apabila yang didengar
adalah kebaikan maka akan mengaibatkan kejernihan hati, sebaliknya, perkataan
kotor akan berdampak keruh di dalam hati.
سَمَّاعُونَ
لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ
أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ
حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Mereka itu adalah orang-orang
yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka
(orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah
(perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara
itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil. (QS. al-Maidah: 42)
Rupanya, merupakan organ tubuh
yang pertama kali berfungsi pada sat ia dilahirkan, begitupula pendengaran
merupakan organ terakhir yang berfungsi menjelang kematian. Hal itu dapat
diamati dari isyarat adanya perintah mengumandangkan azan di telinga bayi
bagian kanan dan iqamah di bagian kirinya, pada saat si jabang bayi baru
dilahirkan, isyarat lain sebagai akhir organ tubuh yang berfungsi dari pada
penglihatan adalah adanya perintah menuntun orang-orang jelang ajal tiba dengan
kalimah thayyibah
Baik yang mendengar maupun
yang berbicara keduanya bersekutu. Apabila perkataan baik, maka baik bagi yang
berkata maupun yang mendengarnya akan memperoleh kebaikan, sebaliknya apabila
perkataan tersebut berupa keburukan, maka baik yang mengatakan maupun yang
mendengarkan keduanya bersekutu dalam perbuatan dosa. Pendengar yang pasif
sekalipun, ia dijerat dengan kesalahan melakukan pembiaran terhadap perbuatan
dosa.
......
فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي
حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ
الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“…… maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang
kafir di dalam Jahannam.” (QS. an-Nisā’: 140)
Selain pendengaran, al Qur'an
juga mengingatkan pentingnya menjaga pandangan. Pandangan yang tidak terjaga
dengan baik, akan menimbulkan dampak kerugian yang besar dan membahayakan bagi
diri sendiri dan orang lain. Salah satu ayatnya adalah:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang-orang
beriman (laki-laki) hendaknya menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan
mereka, karena yang demikian itu membersihkan jiwa mereka dan sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui dengan apa yang mereka lakukan. Dan katakanlah kepada
wanita perempuan hendaknya mereka menjaga pandangan mereka dan memelihara
kemaluan mereka.” (An-Nur:30-31)
Dalam ayat tersebut, hendaklah
setiap orang menahan pandangannya terhadap sesuatu yang tidak dihalalkan,
perlakuan yang demikian ini akan memelihara kesucian jiwanya. Dalam tafsir
al-Khazin, min pada frase min abshārihim dalam ayat tersebut, berfungsi sebagian
(li-tab’īḍ) dalam arti sebagian pandangan yang tidak dihalalkan saja yang harus
dijaga. Sedangkan untuk hal hal yang diperbolehkan justru diperintah. Ada
keterkaitan erat antara pandangan dengan kejiwaan seseorang. Imam Ghazali
menggambarkan pandangan sebagai makanan hati. Abu Aliyah berpendapat, semua
tema menjaga kemaluan dalam al Qur'an menunjuk kepada larangan berbuat zina,
kecuali dalam ayat di atas. Dalam ayat di atas menjaga kemaluan dalam arti
menutupi aurat sehingga tidak nampak oleh pandangan orang lain.
Dalam ayat di atas ada tiga
pelajaran berharga. Pertama, mendidik orang mukmin untuk selalu menjaga
pandangan terhadap hal hal yang di larang, Kedua, memberikan peringatan kepada
orang mukmin, bahwa menjaga pandangan akan berakibat baik terkait dengan
kesucian jiwa. Ketiga ancaman, sesungguhnya Allah swt maha mengetahui semua
perbuatan hambanya.
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ.
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ
يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila
dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri
seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya;
maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.
Menarik bila kita tilik ulang
sebab turunnya ayat di atas. Paling tidak ada dua riwayat. Manurut Imam al
Qurthubi, ayat ini turun berkaitan dengan an-Nadhr ibnu Harits sebab ia membeli
buku-buku bangsa asing yang berisi kisah-kisah tentang Rustum dan Spandiar. Ia
berdiam di Mekah. Kalau orang-orang quraisy mengatakan bahwa Muhammad berkata
anu, dia tertawa lalu menceritakan kepada mereka kisah raja-raja persia. Ia
mengatakan “Kisahku ini lebih baik daripada perkataan Muhammad!”. Hal ini
dituturkan oleh al Kalibi.
Berdasarkan riwayat lain, dari
Juwaibir meriwayatkan dari ibnu abbas bahwa ayat ini turun tentang an-Nadhr bin
Harits. Ada yang mengatakan bahwa ia dulu membeli penyanyi-penyanyi wanita.
Setiap kali ia menemukan seseorang yang hendak masuk islam, ia membawanya ke
salah satu penyanyinya dan mengatakan “beri ia makan dan minum serta nyanyikan
lagu untuknya!”. Ia berkata pula “ini lebih baik dari apa yang diserukan oleh
Muhammad : shalat, puasa dan berperang membelanya”
Ayat di atas mencela orang
orang yang melalaikan al Qur'an. Dalam ayat tersebut, mereka lebih memilih
perkataan yang sia-sia (lahw al-ḥadīth). Adapun yang termasuk dalam perkataan
sia-sia adalah setiap ucapan yang haram, batil, yang mendorong kepada
kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan, ucapan orang-orang yang menolak
kebenaran, syubhat, ghibah (menggunjing orang lain), namimah (adu domba),
dusta, mencaci-maki, nyanyian. Para ulama’ menafsirkan lahw al-ḥadīth dalam
ayat tersebut adalah penyayi. Di dalam tafsir Ibn Kathir;
عن
أبي الصهباء البكري ، أنه سمع عبد الله بن مسعود - وهو يسأل عن هذه الآية: ( ومن
الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله ) -فقال عبد الله: الغناء
Dari Abi al-Shahba` al-Bakriy,
Dia mendengar Abdullah bin Mas’ud, dia ditanya tentang ayat wa min al-nāsi man
yashtarī…. Kemudian Abdullah menjawab, nyanyian.
Dalam banyak riwayat, seperti
dijumpai dalam Tafsir Thabari, mengutip riwayat dari Abu Yayamamah akan
keharaman jual beli penyayi. Dalam hal ini penyanyi yang dapat melalaikan
seseorang dari peringatan Allah swt. Dalam lanjutan ayat tersebut. Apabila
mereka dibacakan ayat ayat Allah swt, seolah-olah ada penutup di telinganya.
Post a Comment